Notes about Selected Short Essay
I decided to add a new category in this blog that is "Selected Short Essay". The aim is simple, to publish my essay assignments on the web. It ranges from environmental issues, development issues, until tourism-leisure issues. Perhaps you will find something interesting, or even rubbish :p.
You can have it for personal and non-commercial uses (nevertheless, education/information is for all isn't it?). However, I really don't recommend you to use these essay, or even cite it, for your academic work (essay, paper, etc). The problem of citing these essay as your source is simple, how are you going to refer to it? Of course you also have option to give no citation/reference. Then it means you are a plagiat by so doing. And you know that plagiarism is an unforgiven sin hahahahhaha :). Respect others, respect yourself :).
Comments and discussions, instead, are warmly and eagerly welcome. You can say anything freely and then we can engage in an interesting opinion exchange :).
Friday, August 21, 2009
Berburu beasiswa ke Belanda (3/3)
Keenam, daftar sekolah.
Pendaftaran universitas biasanya memakan waktu minimal sebulan. Masa-masa 'sibuk' universitas adalah menjelang liburan musim dingin (sehabis natal sampai dengan tahun baru) dan saat pendaftaran beasiswa (Januari-April). Maka, menurut saya, waktu terbaik untuk mendaftar adalah September-november (alias awal semester kuliah). Pertama karena itu
masa-masa universitas tidak terlalu banyak aktivitas pendaftaran (lebih cepat responnya), dan kedua, surat pendaftaran otomatis untuk tahun berikutnya. Plus kalau 'nasib' anda buruk, alias tidak diterima, masih ada waktu untuk mendaftar di sekolah lainnya.
Soal daftar sekolah ini, saya dulu pernah 'nangis bombai' gara-gara ditolak suatu institut di belanda sehingga tidak bisa mendaftar beasiswa di tahun tersebut. Di tahun berikutnya, institut yang sama ternyata menerima saya dengan tangan terbuka. Cuma kali ini, giliran saya yang bilang "nehi-nehi beibeh" hehehehe.
Ketujuh, daftar beasiswa.
Ya pastilah kamu harus daftar beasiswa. Mau sampai nangis nungging, tetep aja gak bakal dapat beasiswa kalau tidak pernah mendaftar kompetisi beasiswa. Jadi, isi semua formulirnya dengan lengkap. Tidak ada pertanyaan yang tidak penting sehingga boleh tidak kamu isi. Formulir yang tidak lengkap, tidak peduli sebaik apapun isianmu, tetap akan didiskualifikasi. Gunakan bahasa inggris yang lugas dan mudah dicerna serta informatif. Kemas dan pasarkan dirimu dengan baik.
Oh ya, soal bahasa inggris. Aduh, tolong jangan 'pamer' bahasa inggris dalam kalimat majemuk bertingkat sepuluh :D. Bikin kalimat pendek, singkat, dan jelas. Lagipula, kalimat pendek, umumnya lebih mudah. Kalimat panjang itu tata bahasanya merepotkan.
Kedelapan, (kalau percaya) berdoalah dan lupakan kamu sudah mendaftar.
Tidak ada habis-habisnya aku memberikan saran ini, selalulah berdoa sejak dari awal proses mencari beasiswa. Mau berdoa ke siapapun ya terserah anda hehehehe. Setelah berdoa, lupakanlah bahwa kamu sudah pernah mendaftar. Peranmu saat itu sudah usai, keputusan berada di tangan para juri dan si pendengar doa-mu. Yang bisa kamu lakukan adalah mengambil sikap berserah, menyiapkan diri untuk jawaban 'terburuk', dan .... daftar beasiswa yang lainnya hehehehe.
Jangan terlalu berharap. Anggap saja tidak mendaftar. Sehingga saat benar-benar tidak dapat beasiswa, anda tidak depresi ataupun frustasi. Percayalah, sekuat apapun dirimu, kalau kamu benar-benar mengingini sesuatu dan kamu tidak mendapatkannya; itu sakitnya luar biasa. Saya sudah beberapa kali seperti itu, tapi, sialnya tetep aja tidak kebal sakit *hiks*. Bagiku, persiapan mental ini sangat penting terutama kalau kamu akhirnya mendapat panggilan wawancara.
Kesembilan, (kalau kamu lolos seleksi awal) mempersiapkan wawancara.
Kalau kamu sampai pada tahap ini, pertama-tama kuucapkan selamat. Untuk mencapai tahap ini, kamu adalah 20% terbaik dari pengaju beasiswa lainnya. Sainganmu tinggal sedikit lagi, tapi justru sangat berat. Jangan khawatir. Wawancara adalah ajang mencari kecocokan bukan untuk menjatuhkan. Jadi, saranku jadilah dirimu sendiri.
Persiapkan diri menjawab pertanyaan-pertanyaan umum dan spesifik tentang dirimu. Baca lagi formulir yang telah kamu isi, bersiaplah memberikan alasan terhadap isian formulirmu. Simulasikan wawancara tersebut berulang-ulang sampai kamu hapal di luar kepala dan bosan simulasi. Gunakan bahasa inggris yang jelas dan singkat. Tidak perlu terburu-buru. Kita bisa diskusi tentang persiapan wawancara dalam artikel lainnya karena topik tersebut cukup panjang juga (dan banyak saran-saran).
Kesepuluh, (kalau kamu memenangkan beasiswa) persiapkan studi dan keluarga yang ditinggalkan di Indonesia.
Ini tidak pernah mudah. Ada banyak cara. Tapi untuk saat ini, fokuskan diri ke langkah pertama sampai kedelapan. Diskusi tentang langkah kesepuluh bisa dilakukan setelah kamu memenangkan beasiswa.
Btw, selamat, kamu adalah yang terbaik dari pendaftar beasiswa di angkatan tersebut. Kamu sepantasnya bangga akan pencapaianmu. (Dan) pikulah tanggung jawab tersebut dengan sepenuh hati.
Kurang lebih itulah prosesku mencari beasiswa dulunya. Kalau masih ada yang tidak jelas silahkan tanya. Kalau bisa, saya jawab; kalau tidak, ya udah kita cari dukun sama-sama :D.
Wednesday, March 11, 2009
Golput? Yg bener aja!

Ini adalah versi tersunting dari opini yang saya kirimkan ke beberapa milis e.g. PPI-UK, T-Net
--------------------
Sebentar lagi Pemilu lho (i.e. 9 April 2009). Apakah rekans sudah punya calon (baik perorangan maupun partai) yg akan dipilih? Idealnya memang kita mengenali caleg dan partai yg kita contreng/tick. Tapi hal ini agak susah bagi kita, apalagi hingar bingar kampanye hanya terdengar sayup-sayup di LN.
Ini mungkin memperkuat sikap apatis terhadap pelaksanaan pemilu dan pada akhirnya menguatkan pilihan tidak ikut pemilu (alias golput). Tidak salah memang sikap ini. Hanya saja, menurut saya, sikap/pilihan tersebut kurang bermanfaat. Please note, sampai beberapa waktu yg lalu, saya juga memilih untuk tidak ikut pemilu. Namun, pilihan saya sekarang berubah untuk aktif ikut pemilu betapapun buruknya pilihan yang ada.
Alasan saya:
1. Golput tidak menghargai 'uang rakyat'. Dana pemilu 2009, sebagaimana dianggarkan dalam APBN adalah sekitar 7,4T rupiah. Total daftar pemilih tetap (DPT) nasional adalah 171 juta, 1,5 juta diantaranya adalah DPT dapil LN (ya kita-kita ini). Jadi biaya pemilu per kepala kurang lebih 43 ribu rp. Sayang sekali lho kalo biaya tersebut disiasiakan karena kita tidak menggunakan hak suara kita. Mungkin bagi kita, uang 43 ribu rupiah itu kecil artinya; tapi perlu diingat bahwa sekitar 50% penduduk Indonesia memperoleh pendapatan lebih kecil dari US$ 2/hari. Apalagi 43 ribu yg sekitar US$4. Mohon direnungkan.
2. Golput tidak akan merubah hasil pemilu. Ada pendapat bahwa angka golput yg tinggi akan menjadi basis rendahnya legitimasi parpol/caleg terpilih. Mungkin pendapat tersebut benar. Tetapi, meskipun legitimasinya rendah, aspek legal hasil pemilu itu tetap kuat. Hasil pemilu (terlepas 'bersih'/tidaknya) tidak dapat digugat hanya karena angka golput (sangat) tinggi (CMIIW/BYKS). Mahkamah Konstitusi mungkin akan memerintahkan pemilu ulang HANYA JIKA terjadi pelanggaran pemilu yg parah (seperti di Jatim misalnya atau daerah lain), bukan berdasarkan golput yg tinggi. Lalu apa gunanya golput? Tidak akan ada yg berubah :(.
3. Golput memperkuat perolehan suara parpol/caleg. Kalau rekans belum menyadari, penentuan perolehan kursi itu berdasarkan jumlah suara sah yang ada di masing-masing TPS (UU 10/2008: 202(1)). Bahkan bila 199 suara dari 200 suara dinyatakan rusak (alias golput 'terencana'), satu suara tersebut akan menjadi dasar pembagian kursi di TPS yg terkait. Parpol yang mendapat suara banyak di TPS tersebut tentu akan gembira karena 'harga kursi' menjadi semakin murah dengan semakin banyaknya suara 'tidak sah' (atau golput). 'Harga kursi' yg seharusnya 100 suara mungkin dirabat (discounted) menjadi hanya 50 suara karena adanya 50% suara golput. Lah kalau begini, maksud 'baik' rekan-rekan pendukung golput ternyata malah dinikmati oleh parpol (bayangkan kalau itu parpol yg rekan-rekan tidak sukai).
4. Golput merugikan caleg 'pemula'. Caleg pemula cum idealis biasanya mengandalkan swing voters dan pemilih suara yg 'sadar'. Mereka mengandalkan 'jualan program/visi-misi' daripada monyet eh money politic. Lah kemana mereka mau 'jualan', kalo 'pembeli'nya (i.e. mereka yg menyebut dirinya 'memilih berdasar nurani/akal') ternyata tidak datang ke 'pasar' (alias pemilu)? Ya bankrut mereka kan. Dagangan 'berkualitas' mereka amat mungkin dikalahkan oleh 'obral hadiah' (utk tidak mengatakan pemberian uang, barang, dll) oleh caleg 'bergizi' karena pemilih 'tradisional' umumnya memilih 'hadiah'. Golput anda membuat pangsa pasar caleg 'pemula' menjadi menyusut.
5. Golput menghambat perubahan. Menyambung alasan (3) dan (4) diatas, suara golput tidak dapat dirubah menjadi suatu kekuatan nyata di dewan perwakilan maupun pihak eksekutif (dan akhirnya juga pihak yudikatif; note: hakim tipikor, MA, KY, MK, dll itu dipilih dan disahkan di DPR --CMIIW; kalo DPR-nya banyak diisi orang brengsek, bagaimana kita bisa berharap perubahan disektor hukum???). Tidak ada dalam DPR kita yang namanya fraksi golput. Apakah suara golput dapat menyalurkan aspirasi kita? Apakah perubahan dapat terjadi bila yang ada di dewan adalah wajah-wajah lama (baik perorangan maupun parpol)? Lebih lanjut, pasangan Capres-Cawapres itu hanya bisa diajukan oleh (koalisi) parpol yang memperoleh suara 20% kursi DPR atau 25% suara sah. Golput hanya akan mempermudah partai 'raksasa' untuk dagang sapi dan mempersulit partai 'gurem' untuk mendorong perubahan-perbaikan.
Menimbang lima alasan diatas, saya melihat cita-cita luhur golput (i.e. perubahan dan perbaikan) hanya akan menjadi angin kosong yang tidak pernah berubah menjadi badai perubahan dan perbaikan. Di negara kita tercinta ini, dengan sistem politik saat ini, 'perubahan dan perbaikan' (albeit besar kecilnya) hanya dapat terjadi bila kita menyalurkan suara kita melalui institusi resmi (/legal). Bayangkan dasyatnya institusi legal tersebut dalam melakukan perubahan cum perbaikan jika mendapat dukungan kita (alias legitimasi 'rakyat').
Bukankah sinyal ini yang muncul pada pemilu 2004 dimana -tanpa diduga- partai demokrat (dan SBY-JK) 'mengagetkan' parpol lainnya dengan perolehan suara mereka. Bukankah dengan munculnya partai demokrat (yg dianggap menampung swing voters dari parpol lainnya e.g. PDI-P, dll), ada parpol yg mulai 'insyaf' dan 'berbenah diri' saat ini. Fenomena "demokrat 2004" (dan SBY-JK 2004) ini seharusnya membuat kita sadar bahwa perubahan dan perbaikan masih bisa terjadi asalkan kita menyalurkan suara kita dengan bijak (apapun kriteria 'bijak' rekan-rekan sekalian).
Jika rekan-rekan merasa muak terhadap sistem politik dan perangkatnya (parpol, caleg, dll) saat ini; mari salurkan suara anda pada pilihan yg 'sedikit buruk' diantara pilihan 'sangat buruk' lainnya. Mari kita kirimkan sinyal dukungan terhadap 'perubahan dan perbaikan' sebagaimana yg (mungkin) pernah dilakukan pada 2004.
Saya paham bahwa pilihan yang ada saat ini rasanya sangat menyesakkan dada dan menyakitkan hati (dan membodohi 'kita'?). Sayangnya, perubahan dan perbaikan yang kita cita-citakan itu kecil kemungkinannya untuk datang atas nama 'dukungan golput'.
Perubahan dan perbaikan melalui saluran ekstra parlemen dan tidak konstitusional itu hanya bisa tercapai bila terjadi anomali sebagaimana kita lihat pada 1998. Masalahnya (atau resikonya), anomali sangat susah 'dikendalikan' dan hasilnya seringkali tidak seideal yang dicitacitakan pada awalnya. Apakah cita-cita reformasi yang mendorong terjadinya anomali '98 sudah tercapai hingga saat ini? (note: ini bila kita masih percaya bahwa Pres Soeharto mengundurkan diri karena tuntutan demonstran bukan karena hal yg lain)
Akhir kata, jika rekan-rekan merindukan perubahan dan perbaikan di negara kita tercinta ini; ayo gunakan hak suara anda sebaik-baiknya dalam pemilu :)
* gambar diunduh dari www.kpu.go.id
Friday, March 09, 2007
When Lives are Discounted: Climate Change and Discounting Principle
The Kyoto Protocol offers three platforms to mitigate the climate change problems i.e. emission trading (ET), joint implementation (JI), and clean development mechanism (CDM). The protocol is a cap-and-trade system where every ratifying country is given emission limit (the “cap”) and then each country can trade their emission rights. ET is a market mechanism (similar to stock exchange market) to host emission trading, while the JI is a mechanism for industrialized countries to get emission credits by investing in emission reducing projects in another industrialized countries. The CDM is similar to JI only that CDM participants come from industrialized and developing countries.
Investment analysis involves concept of Time Value of Money (TVM). In brief, the TVM implies that money value is changing over time where present money value is greater than future money value (unless deflation happens continuously over time, which is very unlikely to happen). The future benefits and costs are discounted to the present in order to get its net present value (NPV).
In a simplified mathematical form:
Where: t = time; B = benefit; C = cost; r = discount rate.
By analyzing the mathematical formula, we know that the NPV is depended on three factors, i.e. the amount of benefits and costs, the time, and the discount rate. While costs are in present time (sometime it is simplified as ‘initial investment’), net benefits are in future time. Therefore, the effect of discounting mostly affects the net benefits. The effect of discounting is composed by t and r. The longer the time period (t), the bigger is the discount factor. The bigger the discount rate (r), the greater is the discount factor.
Although the TVM is perfectly acceptable in evaluating pure economic investments however, its usage in evaluating environmental investments should be questioned. The first reason is that the property of environmental investments is not only of economic value but also non-economic value such as quality of life and human life itself. The fundamental debate in using discounting for environmental projects is how we measure non-economic value (e.g. a human life) to an economic value (e.g. is life for sale?).
To put it simple, suppose we know that a forestation project will prevent a land-slide to small village with no economical benefits to a logging firm[1] whilst without the forestation, the land-slide will kill some of villagers.[2] The firm seeing the project as not profitable (only as cost) may then reject the project implementation. Having arrived in this point, we conclude that according to the firm the value of some villagers’ life is much less than the forestation costs. The debate then shifted into whether this behaviour is acceptable.[3] Anther simplified example is that under discounting principle, the present value of 100 lives in 10 years time and 1% discount rate is only 90 lives. Ten lives are discounted and ignored. Is this behaviour ethical?
The discounting principle is a delicate matter to apply in climate change initiatives also due to initiatives’ transboundary nature of benefits and costs. The main question is what is the proper discount rate in evaluating climate change initiatives that applies globally? Up to the moment there is no commonly agreed discount rate for this matter. Different countries and companies have their own discount rate.[4] It is logical that an emission reducing project is rejected in a country while it would have been accepted in another country.
The second reason is that the property of environmental problems is the irreversibility. It means that some environmental damages cannot be undone e.g. species extinction. Meanwhile, most of damages or benefits happen in the future (hence the temporality of the problems) and its possibility to occur is uncertain (hence the uncertainty of the problem risks). Therefore we should treat the discounting principle with care especially when compared to precautionary principle of Agenda 21 (Principle 15).[5]
Although the essay does not advocate a novel approach to deal with the problem of discounting in climate change however, it encourages the usage of an integrated analysis to give a more comprehensive picture of the climate change initiative’s value. Furthermore the essay argues that a pure discounting practice may become unethical in assessing environmental projects.
----------
REFERENCES:
Houghton, J.T., Ding, Y. , Griggs, D.J., Noguer, M. , van der Linden, P.J., Dai, X., Maskell, K., Johnson, C.A. (2001) Climate Change 2001: The Scientific Basis, Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC, Cambridge University Press.
[1] The example is an extreme simplification of real conditions.
[2] We can also say that the land-slide is as the effect of high precipitation caused by global warming.
[3] This kind of debate is prominent in the scope of Corporate Social Responsibility.
[4] Usually firms’ discount rate (or required return) is generated from its financing structure, debt interest rate, risk and expected market return. Meanwhile governments use Social Time Preference by comparing utility over time and generations to generate the discount rate.
[5] The precautionary principle demands that “where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradation”.