Notes about Selected Short Essay
I decided to add a new category in this blog that is "Selected Short Essay". The aim is simple, to publish my essay assignments on the web. It ranges from environmental issues, development issues, until tourism-leisure issues. Perhaps you will find something interesting, or even rubbish :p.
You can have it for personal and non-commercial uses (nevertheless, education/information is for all isn't it?). However, I really don't recommend you to use these essay, or even cite it, for your academic work (essay, paper, etc). The problem of citing these essay as your source is simple, how are you going to refer to it? Of course you also have option to give no citation/reference. Then it means you are a plagiat by so doing. And you know that plagiarism is an unforgiven sin hahahahhaha :). Respect others, respect yourself :).
Comments and discussions, instead, are warmly and eagerly welcome. You can say anything freely and then we can engage in an interesting opinion exchange :).
Wednesday, March 11, 2009
Golput? Yg bener aja!
Ini adalah versi tersunting dari opini yang saya kirimkan ke beberapa milis e.g. PPI-UK, T-Net
--------------------
Sebentar lagi Pemilu lho (i.e. 9 April 2009). Apakah rekans sudah punya calon (baik perorangan maupun partai) yg akan dipilih? Idealnya memang kita mengenali caleg dan partai yg kita contreng/tick. Tapi hal ini agak susah bagi kita, apalagi hingar bingar kampanye hanya terdengar sayup-sayup di LN.
Ini mungkin memperkuat sikap apatis terhadap pelaksanaan pemilu dan pada akhirnya menguatkan pilihan tidak ikut pemilu (alias golput). Tidak salah memang sikap ini. Hanya saja, menurut saya, sikap/pilihan tersebut kurang bermanfaat. Please note, sampai beberapa waktu yg lalu, saya juga memilih untuk tidak ikut pemilu. Namun, pilihan saya sekarang berubah untuk aktif ikut pemilu betapapun buruknya pilihan yang ada.
Alasan saya:
1. Golput tidak menghargai 'uang rakyat'. Dana pemilu 2009, sebagaimana dianggarkan dalam APBN adalah sekitar 7,4T rupiah. Total daftar pemilih tetap (DPT) nasional adalah 171 juta, 1,5 juta diantaranya adalah DPT dapil LN (ya kita-kita ini). Jadi biaya pemilu per kepala kurang lebih 43 ribu rp. Sayang sekali lho kalo biaya tersebut disiasiakan karena kita tidak menggunakan hak suara kita. Mungkin bagi kita, uang 43 ribu rupiah itu kecil artinya; tapi perlu diingat bahwa sekitar 50% penduduk Indonesia memperoleh pendapatan lebih kecil dari US$ 2/hari. Apalagi 43 ribu yg sekitar US$4. Mohon direnungkan.
2. Golput tidak akan merubah hasil pemilu. Ada pendapat bahwa angka golput yg tinggi akan menjadi basis rendahnya legitimasi parpol/caleg terpilih. Mungkin pendapat tersebut benar. Tetapi, meskipun legitimasinya rendah, aspek legal hasil pemilu itu tetap kuat. Hasil pemilu (terlepas 'bersih'/tidaknya) tidak dapat digugat hanya karena angka golput (sangat) tinggi (CMIIW/BYKS). Mahkamah Konstitusi mungkin akan memerintahkan pemilu ulang HANYA JIKA terjadi pelanggaran pemilu yg parah (seperti di Jatim misalnya atau daerah lain), bukan berdasarkan golput yg tinggi. Lalu apa gunanya golput? Tidak akan ada yg berubah :(.
3. Golput memperkuat perolehan suara parpol/caleg. Kalau rekans belum menyadari, penentuan perolehan kursi itu berdasarkan jumlah suara sah yang ada di masing-masing TPS (UU 10/2008: 202(1)). Bahkan bila 199 suara dari 200 suara dinyatakan rusak (alias golput 'terencana'), satu suara tersebut akan menjadi dasar pembagian kursi di TPS yg terkait. Parpol yang mendapat suara banyak di TPS tersebut tentu akan gembira karena 'harga kursi' menjadi semakin murah dengan semakin banyaknya suara 'tidak sah' (atau golput). 'Harga kursi' yg seharusnya 100 suara mungkin dirabat (discounted) menjadi hanya 50 suara karena adanya 50% suara golput. Lah kalau begini, maksud 'baik' rekan-rekan pendukung golput ternyata malah dinikmati oleh parpol (bayangkan kalau itu parpol yg rekan-rekan tidak sukai).
4. Golput merugikan caleg 'pemula'. Caleg pemula cum idealis biasanya mengandalkan swing voters dan pemilih suara yg 'sadar'. Mereka mengandalkan 'jualan program/visi-misi' daripada monyet eh money politic. Lah kemana mereka mau 'jualan', kalo 'pembeli'nya (i.e. mereka yg menyebut dirinya 'memilih berdasar nurani/akal') ternyata tidak datang ke 'pasar' (alias pemilu)? Ya bankrut mereka kan. Dagangan 'berkualitas' mereka amat mungkin dikalahkan oleh 'obral hadiah' (utk tidak mengatakan pemberian uang, barang, dll) oleh caleg 'bergizi' karena pemilih 'tradisional' umumnya memilih 'hadiah'. Golput anda membuat pangsa pasar caleg 'pemula' menjadi menyusut.
5. Golput menghambat perubahan. Menyambung alasan (3) dan (4) diatas, suara golput tidak dapat dirubah menjadi suatu kekuatan nyata di dewan perwakilan maupun pihak eksekutif (dan akhirnya juga pihak yudikatif; note: hakim tipikor, MA, KY, MK, dll itu dipilih dan disahkan di DPR --CMIIW; kalo DPR-nya banyak diisi orang brengsek, bagaimana kita bisa berharap perubahan disektor hukum???). Tidak ada dalam DPR kita yang namanya fraksi golput. Apakah suara golput dapat menyalurkan aspirasi kita? Apakah perubahan dapat terjadi bila yang ada di dewan adalah wajah-wajah lama (baik perorangan maupun parpol)? Lebih lanjut, pasangan Capres-Cawapres itu hanya bisa diajukan oleh (koalisi) parpol yang memperoleh suara 20% kursi DPR atau 25% suara sah. Golput hanya akan mempermudah partai 'raksasa' untuk dagang sapi dan mempersulit partai 'gurem' untuk mendorong perubahan-perbaikan.
Menimbang lima alasan diatas, saya melihat cita-cita luhur golput (i.e. perubahan dan perbaikan) hanya akan menjadi angin kosong yang tidak pernah berubah menjadi badai perubahan dan perbaikan. Di negara kita tercinta ini, dengan sistem politik saat ini, 'perubahan dan perbaikan' (albeit besar kecilnya) hanya dapat terjadi bila kita menyalurkan suara kita melalui institusi resmi (/legal). Bayangkan dasyatnya institusi legal tersebut dalam melakukan perubahan cum perbaikan jika mendapat dukungan kita (alias legitimasi 'rakyat').
Bukankah sinyal ini yang muncul pada pemilu 2004 dimana -tanpa diduga- partai demokrat (dan SBY-JK) 'mengagetkan' parpol lainnya dengan perolehan suara mereka. Bukankah dengan munculnya partai demokrat (yg dianggap menampung swing voters dari parpol lainnya e.g. PDI-P, dll), ada parpol yg mulai 'insyaf' dan 'berbenah diri' saat ini. Fenomena "demokrat 2004" (dan SBY-JK 2004) ini seharusnya membuat kita sadar bahwa perubahan dan perbaikan masih bisa terjadi asalkan kita menyalurkan suara kita dengan bijak (apapun kriteria 'bijak' rekan-rekan sekalian).
Jika rekan-rekan merasa muak terhadap sistem politik dan perangkatnya (parpol, caleg, dll) saat ini; mari salurkan suara anda pada pilihan yg 'sedikit buruk' diantara pilihan 'sangat buruk' lainnya. Mari kita kirimkan sinyal dukungan terhadap 'perubahan dan perbaikan' sebagaimana yg (mungkin) pernah dilakukan pada 2004.
Saya paham bahwa pilihan yang ada saat ini rasanya sangat menyesakkan dada dan menyakitkan hati (dan membodohi 'kita'?). Sayangnya, perubahan dan perbaikan yang kita cita-citakan itu kecil kemungkinannya untuk datang atas nama 'dukungan golput'.
Perubahan dan perbaikan melalui saluran ekstra parlemen dan tidak konstitusional itu hanya bisa tercapai bila terjadi anomali sebagaimana kita lihat pada 1998. Masalahnya (atau resikonya), anomali sangat susah 'dikendalikan' dan hasilnya seringkali tidak seideal yang dicitacitakan pada awalnya. Apakah cita-cita reformasi yang mendorong terjadinya anomali '98 sudah tercapai hingga saat ini? (note: ini bila kita masih percaya bahwa Pres Soeharto mengundurkan diri karena tuntutan demonstran bukan karena hal yg lain)
Akhir kata, jika rekan-rekan merindukan perubahan dan perbaikan di negara kita tercinta ini; ayo gunakan hak suara anda sebaik-baiknya dalam pemilu :)
* gambar diunduh dari www.kpu.go.id